ILMU PANCAWARNA TUNGGAL-1

NGELMU BERGURU ILMU PANCAWARNA TUNGGAL DENGAN PRABU KIAN SANTANG 

Kedahsyatan Ilmu Pancawarna Tunggal Bagaikan Adi kodrati,Sepak terjangnya Penuh Mistis Dan Sakral,Hutan Belantara jadi Tempat Gemblenganya

Demak Bintoro, dan peradaban Hindu kian menyusut oleh ajaran Islam,
seorang resi agung yang dahulunya menjadi panglima kerajaan Majapahit
datang menemui Resi Wanayasa Agung Bimantara Cakra Bumi (julukan Mbah
Kuwu Cakra Buana).

Kala itu Beliau adalah mantan panglima besar Damar Wulan. Setelah sembah sujud dihadapannya, Damar Wulan, langsung menghaturkan maksud dan tujuannya: “Duhhh..Rayi..terimalah hamba Sebagai muridmu..

Sesungguhnya Kanjeng Nabi MuhammadSAW,telah mendatangiku 
untuk memohon Syafaatmu yang membawa kebajikan dunia akherat, berilah hamba setetes ilmumu wahai putra Siliwangi”. 

Lalu kemudian Mbah Kuwu Cakra Buana Sambil menengadah wajahnya ke atas dan dilihatnya di alamul Lauh Mahfudz, nama Damar Wulan, telah tercatat sebagai Insanul Jannah di akhir hayatnya kelak. Maka beliaupun men-Syahid Damar Wulan.

Pada akhirnya  diberikannya ilmu ke Ma’ rifatan berupa “Pancawarna Tunggal Jati”.Selang seminggu kemudian Damar Wulan, datang kembali menemui gurunya Mbah Kuwu Cakra Buana: “Wahai Wali Allah,,sungguh mulia sekali ilmu
Pancawarna Tunggal jati, yang kau berikan kepadaku.

Dahulu saya berpikiran bahwa ilmu yang ada padaku sudah kurasa cukup, namun dengan adanya ilmu Pancawarna Tunggal Jati, semuanya tiada berarti sama sekali. 

Kini aku sudah maujud dengan apa yang ku cari selama ini,semoga pulau Jawa, akan menjadi bagianmu kelak”. Lalu Damar Wulan-pun menghilang dan tidak pernah kembali lagi. 

Dikisahkan pula pada abad14, dimana para WaliSongo, sudah menduduki maqomnya masing- masing,salah satu dari putra Prabu Siliwangi, yang bernama Kian Santang,malah sebaliknya bertolak belakang dengan sifat kakaknya Prabu Walang Sungsang atau Mbah Kuwu Cakra Buana. 

Beliau yang terkenal arif dan bijaksana. Kian Santang, dengan jiwamudanya selalu berambisi untuk menjadi orang No-1 dalam ilmu kesaktian, beliau juga tak segan menantang siapapun yang dianggapnya sakti, baik yang berasal dari aliran putih maupun hitam. 

Bahkan dimana beliau kedapatan kabar, ada salah satu orang sakti di suatu daerah,beliau langsung mendatanginya untuk mengadu ilmu kesaktian. Tak jarang para resi dan pertapa lainnya menjadi tumbal kesaktiannya juga para
jawara maupun pembunuh bayaran yang benci akan ulahnya tak luput kena
getahnya pula. 

Hingga di suatu hari beliau kedapatan informasi bahwadi daerah Mekkah, ada salah satu jawara pilih tanding yang terkenal akan kesaktiannya. Tanpa buang waktu beliaupun langsung terbang menuju arah yang dimaksud. 

Disini Allah SWT, telah menunjukkan jalan terang baginya, karena sesungguhnya yang di cari Kian Santang, adalah Saiyidina Ali RA, Sahabat Nabi Muhammad SAW, yang kurun dan waktunya sudah jauh berbeda. 

Namun atas keagungan-Nya… Saiyidina Ali RA,diturunkan kembali ke bumi untuk membuka hidayah baginya menuju jalan yang di ridhoi Allah SWT. Sesampainya di tanah suci Mekkah.

Kian Santang, langsung bertanya kepada seorang kakek pembawa tongkat: “Wahai kisanak,,,,taukah anda dimana tempat tinggalnya Ali, yang katanya mempunyai ilmu kesaktian luar biasa?” 

Yang ditanya diam sajadan sambil menancapkan tongkatnya ke tanah, sang kakek tadi langsung meninggalkan Kian Santang, seorang diri. Dalam hati Kian Santang,berkata!! 

"Pasti orang ini tahu dimana Ali, berada, maka di kejarlah
kakek tadi: “Wahai kakek jangan bikin aku gusar..tolong katakan di mana rumah Ali”. Dengan nada kasar. “Wahai anak muda, memang aku tahu di mana Ali, berada, namun tolong ambilkan tongkatku..aku lupa membawanya” sambil sang kakek menunjuk tongkatnya yang beliau tancapkan tadi. 

Kian Santang, dengan entengnya mendatangi tongkat sang kakek, yang tak lain adalah Saiyidina Ali RA, sendiri,Beliaupun langsung mencabutnya. Namun…apa yang terjadi…Jangankan tongkat itu tercabut..bergerakpun juga tidak. 

Berkali-kali Kian Santang,merapalkan ajian untuk bisa mencabut tongkat itu namun semuanya sia-sia. Tahu siapa yang dihadapinya saat ini..beliaupun langsung sujud di kaki Saiyidina Ali RA. 

“Wahai kisanak,..aku mengaku kalah dan ijinkan aku pulang” Dengan rasa malu Kian Santang, langsung cabut
diri, beliau merapalkan ajian terbangnya. 

Namun lagi-lagi ilmu yang di milikinya tak bisa membawanya pulang. Bahkan bukanya dia langsung raib seperti biasanya, malah sekarang dirinya seperti katak sedang berjongkok, diam dan masih di tempat semula. 

Dengan tersenyum Saiyidina Ali RA, berkata: “Kisanak, bila engkau ingin pulang, ada satu ilmu yang bisa menghantarkanmu sampai ke pulau Jawa”. Merasa dirinya ada harapan.

Maka di turutilah ucapan sang kakek tadi dan setelah keduanya singgah di salah satu bangunan tua, Saiyidina Ali RA, yang sudah mengenalkan jati diri kepada Kian Santang.

Setelah itu Kian santang mulai mengajarkan Kalimat Syahadatain dan Hakikat keilmuan...

Bismillahirrohmanirrohiim. Selang beberapa hari kemudian Saiyidina Ali RA, menyudahi pengajarannya: “Wahai Andika, kini sudah saatnya kau pulang, carilah orang yang tubuhnya bercahaya (Nur ke- Walian).

Dan berikanlah sorban dan batu ini (kenanga lonjong) padanya, sesungguhnya
dialah bagian dari darah putraku Husen. Mengabdillah padanya”. Dengan menghaturkan sembah bakti, Kian Santang, langsung terbang menuju pulau Jawa. 

Siang malam beliau terus mencari orang yang bakal menjadi gurunya kelak, rasa haru dan ingin segera bertemu membuatnya haus akan Islam semakin bertambah. 

Berbulan-bulan beliau terus mencari dari satu tempat ke tempat lainnya, namun apa yang dicarinya belum juga di ketemukan. Teringat akan kakandanya yang sudah lebih dulu masuk islam.

Beliaupun langsung mendatanginya guna minta petunjuk atas ciri dari orang yang selama ini di carinya. Tepatnya pada malam 10 As- Syura tahun 1421M, dimana masjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon.

Kebetulan disitu sedang menggelar Tasyakkur Akbar, atas pergantian tahun Islam, ditengah keramaian umat manusia, seberkas cahaya terang benderang telah menahan kaki Kian Santang, yang akan menuju rumah kakandanya. 

Ya…Cahaya itu datangnya dari dalam masjid Agung. Dengan hati berdebar Kian Santang, membelokkan langkahnya menuju pintu dalam masjid, semakin dekat cahaya itu semakin menyilaukan matanya hingga beliau tak sadar kakinya terjatuh.

Karena saat itu sedang ada kerumunan massa,yang mana atas banyak orang yang berlalu lalang di dalam sekitar area maupun di dalam masjid.

Secara spontan Kian Santang, berkata sangat keras!!: “Wahai Nurulloh..Wahai Waliyulloh… .Wahai Ma’ rifatulloh… Wahai orang yang mempunyai darah Saiyidina Husen!!!!” 

Tak ayal ucapannya ini membuat semua orang yang hadir tertuju padanya. Dengan keadaan masih terduduk karena terjatuh tadi, tiba-tiba Mbah Kuwu Cakra Buana, sudah berada dihadapannya. 

Melihat keyakinannya yang begitu matang serta perjalanannya yang cukup lama dalam mencari seorang guru Mursyid, Allah- pun membutakan mata kasarnya dan menggantinya dengan hati Muthmainnah keagungan.

Sehingga sewaktu melihat apa yang ada di hadapannya saat itu, beliau hanya melihatnya Nur (cahaya ke Walian) yang begitu besar dan agung. Kian Santang, langsung menubruknya sambil menangis hesteris: “Ya Allah, jadikanlah aku muridnya, dan jadikanlah aku dalam Syafaatnya.

Sesungguhnya aku tak mampu jauh darinya, Kau sudah menemukan apa yang aku cari selama ini, satukanlah diriku dengan guruku selama- lamanya.

Dengan perkataan Kian Santang, barusan, semua yang hadir langsung berucap :

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم 

ا شهد أن لا إله إلا الله
و اشهد أن محمد ر سو ل الله

Bіѕmіllаhіrrаhmаnіrrаhіm
“Asyhadu Anlaa Ilaha Illalloh, Wa Asyhadu Anna Muhammadan Rosululloh..


Kalimah inilah yang biasa di pakai para Waliyulloh, dimana ada salah satu orang yang diangkat derajatnya menjadi Waliyulloh A’ dzom. Setelah sorban dan batu Kenanga Derajat,pemberian Saiyidina Ali Ra, diserahkan kepada kakaknya, Kian Santang, mulai mengabdi. 

Dan sejak itu pula beliau tidak pernah satu kalipun memanggil Mbah Kuwu Cakra Buana, dengan panggilan kakak, melainkan beliau memanggilnya dengan sebutan, Syaikhun Kamil atau Syeikhina Ruhul ‘ Adzom. 

Lima belas tahun Kian Santang, mengabdi kepada kakandanya, dan selama itu pula beliau tidak pernah berani menanyakkan sesuatu apapun kecuali gurunya sendiri yang meyuruh. 

Pada suatu malam Mbah Kuwu Cakra Buana, memanggil adiknya Kian Santang: “Adikku…kau kini boleh pergi..kurasa ilmumu sudah cukup, sebarkanlah Islam, sebagaimana Rosululloh SAW, mengajarkan pada umatnya”. “Bila selama kau ikut denganku ada yang musykhil atau kurang paham, katakan saja padaku sehingga hatimu bersih dari sifat Tadbir/hayalan.

Dan dengan sifat khiidmat, Kian Santang-pun bertanya secara hati-hati. “Guruku yang di hormati Allah, memang benar apa yang Syeikh, katakan tadi, sesungguhnya selama ini ada ganjalan yang selalu membebani hatiku. 

Bila Syeikh berkenan menjawab, saya hanya ingin tahu amalan atau ibadah yang bagaimana sehingga sewaktu pertama kali ku bertemu, tubuh Syeikh sangat bersinar terang. 

Dan mengapa Saiyidina Ali RA, mengatakan bahwa Syeikh,bagian dari darah Saiyidina Husen”.Dengan senyum mengembang, Mbah Kuwu Cakra Buana, menerangkannya:

“Adikku, siapapun itu orangnya, bila kita telah diakui oleh alam
semesta, niscaya maqomatlah yang menjadi baluran bajunya, dan dimana
mereka ditempatkan, maka semuanya tunduk atas karomahnya, tak lain
semua itu berawal dari derajatku sendiri

Pancawarna Tunggal Jati 

“ Allah, telah menempatkan Asbabnya masing-masing, dan Allah, tidak pernah melihat hambanya dengan ibadah lahir maupun ilmu kulit, melainkan Allah, akan selalu melihat hambannya dengan cara ketundukkan hamba itu sendiri sebagai Thobaqo Antobaqnya manusia terhadap Tuhannya. 

Sebagai ahli Jiwa, Allah, telah mengutus Malaikat Jibril AS,yang di sampaikan kepada Nabiyulloh Hidir AS, guna menjumpaiku, dengan memberikan ilmu Pancawarna Tunggal Jati. Ilmu ini bagian dari sastra alam semesta.

Dimana ilmu ini telah menyatu, maka seluruh alam semesta tunduk dalam genggaman tangan (Quthbul Muthlak)” Sedangkan mengapa Aku di sebut sebagai titisan darah Saiyidina Husen. 

Semua tak lain,karena keturunanmu dan keturunanku bukan dari jalurnya melainkan dari Hyang Wisnu dan Batara Brahma. Namun sejak zaman Nabi Adam AS, hingga kini, Allah, telah menempatkanku ditengah jalan keduanya, yaitu menikahkan putriku Pakungwati (dari keturunan Batara) dengan Syarif
Hidayatulloh (dari keturunan Islam).

Sehingga dengan bersatunya kedua aliran ini tidak ada suatu perbedaanpun diantara keduannya untuk menuju Allah SWT. Disela perpisahannya Mbah Kuwu Cakra Buana, mengijazahkan ilmu “Pancawarna Tunggal Jati” kepada adiknya tercinta Beliau berkata..

"Kian Santang. Inilah bunyi ilmu Pancawarna Tunggal Jati :


بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم 

Pancawarna Tunggal Jati, Angklik Jati
Gamparan Gilang Kencana. Kedosan jadi rasa. Wong sejagat buana surem
kabeh. Gemebyar…… Kaya Lintang Raenaya. Mencorong kaya bulan tanggal
empat belas. Nurbuat cahayane para Malaikat. Nur cahya nure Kanjeng
Nabi Muhammad SAW. Nur eka nure para Nabi. Nur asih nure para Wali.
Nur sejati neng badan kaula..


Yang artinya sebagai berikut: 

“Pancawarna Tunggal Jati, jadi wasilah dari segala wasilah yang sangat di muliakan. Apa yang kita harapkan jadi nyata. Orang sedunia tunduk semua. Badanku bersinar terang seperti terangnya bulan tanggal empat belas. 

"Peganganku adalah cahayanya Malaikat. Peganganku adalah cahayanya Kanjeng Rosululloh SAW. 

"Aura yang ada di dalam tubuhku adalah Nur nya para Nabi. 

"Aura pengasihanku adalah Nur nya para Wali. 

"Dan semua Nur yang ada di alam semesta adalah kepunyaanku

Baca : ILMU PANCAWARNA SESI 2

Jіkа Andа ѕukа dеngаn Kоntеn іnі, ѕіlаhkаn Shаrе dі Sоѕmеd Andа untuk bеrbаgі dеngаn ѕеѕаmа. Mаrі kіtа bаngun wеbѕіtе іnі untuk tеtар mеmbеrіkаn Infоrmаѕі уаng аktuаl untuk реmbаса ѕеmuаnуа.

Demikian hakekat ilmu pancawarna tunggal yang telah melegenda sejak zaman dahulu kala.